yakni
bisa kita duga
soal keterlibatan Amerika melalui CIA dalam pembentukan Kompas dan
Tempo. CIA diwakili oleh Ivan Kats membangun konsep dan saling berkirim
korespondesi dengan PK Ojong yang akan mendirikan kompas dan Gunawan
Mohamad muda membangun media Tempo.
Media Kompas, Tempo Pintar Menyembunyikan Misi Ideologisnya
Tak bisa dipungkiri media besar adalah alat propaganda dan ideologis,
"Media besar itu seperti Kompas, Tempo dan lainnya pintarnya mereka
bisa menyembunyikan misi ideologisnya, dan mereka hanya menampilkan
aspek-aspek yang bersifat humanisnya, tetapi misi ideologisnya bisa
mereka sembunyikan" imbuh Munarman.
Misi ideologis seperti apa?
Munarman menambahkan " misi ideologisnya adalah membangun sebuah tata peradaban, sistem dan tata nilai
yang bertentangan dengan nilai Islam, yaitu Sepilis (Sekulerisme, Liberalisme, Pluralisme) atau yang mereka sebut dengan demokrasi sebetulnya."
Contohnya saja media Kompas, kita bisa lihat pada awal tahun 1960-an.
Kita bisa cek dari buku 'Kekerasan Budaya Pasca 1965' karya Wijaya
Herlambang.
Dalam buku yang ditulis yang
aslinya adalah tesis Wijaya Herlambang yang diterbitkan oleh Marjin
Kiri ini merupakan berhaluan kiri dan seorang dosen di Jakarta, bukan
itu yang ingin kita bahas, melainkan ia berhasil menelanjangi
keterlibatan CIA dalam pendirian Kompas dan Tempo yang kini bagai gurita
media di Indonesia.
"Dalam buku itu datanya lengkap, membuka siapa itu Gunawan Mohamad
dan PK Ojong. Mereka berdua berhubungan erat dengan Ivan Kats, seeorang
Agen CIA yang masuk ke dalam CCF (Congres For Cultural Freedom) berpusat
di Prancis untuk menggalang anti komunis dan menyebarkan ide SEPILIS.
Dan termasuk pendirian Kompas dan Tempo atas dorongan dari Ivan Kats.
Maka jika mereka sudah berhubungan dengan intelijen begitu maka bisa
kita duga, sekali lagi bisa kita duga ada campur tangan CIA dalam
pendirian kedua media itu (Kompas dan Tempo), begitu cara melacaknya."
urainya rinci.
Demikian halnya dengan media Islam, harus menjadi propaganda Islam,
bukan hobi semata menurut Munarman, "Ini benar-benar pertempuran
ideologis, bukan sentimen kita seneng dengan Islam, karena Islam itu
bukan hobi, bukan untuk disenangi, Islam itu untuk dijalankan (dalam
kehidupan kita sehari-hari)"
Mudahnya ia merujuk pada buku berjudul 'Kekerasan Budaya Pasca 1965'.
Dalam situs Indoprogres, TULISAN ini merupakan catatan tentang
politik kebudayaan liberal pasca 1965 dan peran yang dimainkan Goenawan
Mohamad di dalamnya. Motivasi awalnya datang dari pembacaan atas
penelitian Wijaya Herlambang dalam bukunya,
Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film.
Dalam tulisan ini, saya akan (1) menguraikan data-data baru tentang
tema terkait yang didapat dari buku Wijaya maupun dari penelusuran saya
secara langsung ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, (2) menjelaskan
bagaimana anatomi gagasan dari politik kebudayaan berbasis
eksistensialisme Camus, (3) menunjukkan peran Goenawan Mohamad sebagai
makelar kebudayaan dalam membentuk selera intelektual Indonesia, dan (4)
memperlihatkan kaitannya dengan konsolidasi kapitalisme di Indonesia
pasca 1965.
Liberalisme Borongan: Cicilan $50
Dalam bukunya, Wijaya menunjukkan keberadaan suatu lembaga filantropi
bernama Congress for Cultural Freedom (CCF) hasil bentukan CIA pada
tahun 1950 yang dimaksudkan sebagai
covert action untuk ‘menciptakan dasar filosofis bagi para intelektual untuk mempromosikan kapitalisme Barat dan anti-komunisme.’
[1]
CCF ditempatkan di bawah kendali Office of Policy Coordination (OPC)
yang diketuai oleh Frank Wisner, seorang pejabat CIA yang terlibat dalam
perencaaan pemberontakan PRRI/Permesta 1957-1958. Wijaya juga
menunjukkan bahwa dari CCF itulah dibentuk yayasan Obor internasional
yang diketuai Ivan Kats, seorang perwakilan CCF untuk Program Asia.
Yayasan Obor internasional (Obor Incoporated) yang berkedudukan di New
York inilah yang menjadi induk dari yayasan Obor Indonesia yang diketuai
Mochtar Lubis.
[2] Melalui yayasan tersebut, ide-ide yang ‘secara filosofis’ mempromosikan kapitalisme Barat dan sikap anti-komunis disemai.
Dalam bukunya, Wijaya menunjukkan keberadaan surat-surat antara
Goenawan Mohamad dan Ivan Kats sejak 1968-1973 yang katanya tersimpan di
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
[3]
Setelah saya memeriksanya dari PDS H.B. Jassin, ternyata saya temukan
bahwa korespondensi yang terarsipkan di sana bahkan juga mencakup
tahun-tahun yang lebih awal, yakni sejak 1965. Lagipula surat dari tahun
1965 itu merupakan sambungan pembicaraan sebelumnya
[4],
sehingga dapat dipastikan bahwa korespondensi itu terjadi hingga entah
sebelumnya. Bahkan dalam sebuah surat (dalam kumpulan surat dari tahun
1965) berbentuk memo sepanjang tiga halaman dengan kop surat bertanda
‘Congrès pour la Liberté de la Culture’ (terjemahan Prancis dari
‘Congress for Cultural Freedom’), disebutkan persoalan tindak lanjut
atas Manifes Kebudayaan. Dalam surat itu, Goenawan diminta untuk menulis
pamflet yang bercerita tentang upaya-upaya PKI dalam menghancurkan
identitas dan pengalaman kultural dari mereka semua yang tidak berpihak
padanya. Secara spesifik Kats menginstruksikan agar Goenawan
menuliskannya dalam ‘middle level abstraction—not too highbrow’ dan
dengan arahan agar isi tulisan itu memuat ‘lebih banyak cerita. Sedikit
analisis.’ (Saya teringat arahan Erman Koto pada para penari dalam film
The Act of Killing: ‘Ya. Lebih
hot. Lebih
hot.’). Berikut saya tampilkan selengkapnya Surat A tersebut.
Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 1965, h. 1.
Tampak bagaimana Ivan Kats tampil serupa ‘manajer politik’ bagi
Goenawan Mohamad. Dari situ juga bisa muncul dugaan bahwa korespondensi
dan koordinasi ini sudah terjadi sejak sebelum 1963, tahun
dideklarasikannya Manifes Kebudayaan, dan tidak hanya melibatkan
Goenawan saja, tetapi para budayawan simpatisan PSI lainnya seperti
Mochtar Lubis, Arief Budiman, Soedjatmoko, P.K. Ojong, dll. Artinya,
boleh jadi Manifes tersebut dirancang dalam koordinasi dengan CCF dan,
implikasinya juga, CIA.
Dugaan tentang keterkaitan antara Manifes Kebudayaan dengan CCF juga
disinyalir oleh Wijaya dalam bukunya. Manifesto CCF berjudul ‘Manifesto
of Intellectual Liberty’ memiliki kemiripan dengan Manifes. Para
intelektual yang ikut dalam acara deklarasi CCF di Berlin tahun 1950
menyatakan: ‘Kebudayaan hanya dapat ada di dalam kebebasan, dan
kebebasan itulah yang dapat membawa pada kemajuan kebudayaan’—ungkapan
yang senafas dengan semangat Manifes Kebudayaan.
[5]
Istilah ‘humanisme universal’ sendiri, seperti diduga Joebaar Ajoeb,
berasal dari A. Teeuw dan diadopsi secara luas oleh H.B. Jassin,
sementara kedua kritikus sastra itu mulai berkolaborasi antara
1947-1951, yakni masa-masa ketika CCF sedang dibentuk.
[6]
Keikutsertaan Jassin dalam proyek kebudayaan CCF ini juga diperkuat
oleh surat Jassin pada Goenawan pada tahun 1966, yang menyatakan bahwa
Ivan Kats meminta Jassin menulis artikel sepanjang 3000-4000 kata
tentang ‘perdjuangan kemerdekaan kebudajaan di lapangan sastra tahun
1957-1965.’
[7]
Dalam sebuah surat pada tahun 1969 yang akan dilampirkan berikut,
Kats juga mengajukan arahan menarik. Ia meminta agar dalam tulisannya,
Goenawan menjadikan pemikiran Prancis sebagai contoh paradigma
kebudayaan yang dapat diterapkan di Indonesia. Dalam amatan Kats,
pemikiran Prancis bisa tumbuh demikian tersohor dalam dunia pemikiran
kontemporer (pasca-Perang Dunia II) karena tradisi pemikiran itu
menyeleksi tendensi-tendensi pikiran asing mana saja yang boleh dan
tidak boleh masuk Prancis. Kats menulis: ‘Pemikiran asing umumnya
dikesampingkan dari konstruksi ini, sampai tiba waktunya seorang
penafsir-makelar (
interpreter-middleman)Prancis memutuskan bahwa ada sesuatu dalam pemikiran asing itu yang berguna bagi Prancis.’
[8]
Salah satu aliran pemikiran yang dikesampingkan dari industri filsafat
Prancis adalah, seperti disebut Kats sendiri, empirisisme logis
Lingkaran Wina. Hal yang serupa juga diminta Kats pada Goenawan
berkenaan dengan lalu-lintas wacana pemikiran di Indonesia: menyortir
tendensi filsafat sesuai kepentingan ‘Indonesia’ (sebuah kata yang pada
masa itu punya acuan yang sama dengan kata ‘Orde Baru’). Secara spesifik
ia meminta Goenawan untuk menerjemahkan karya salah satu pemikir Barat,
antara lain Albert Camus, dan memberikan kata pengantar yang berkesan
tentangnya. Kats menjanjikan akan membayar $50 sebagai uang muka, $50
lagi di belakang, serta upah terjemahan. Selengkapnya surat itu adalah
sebagai berikut.
Rupanya arahan untuk mempromosikan pemikiran Albert Camus ini cukup
serius di mata Kats. Ia sampai mengulangnya beberapa kali dalam
surat-surat selanjutnya.
[9]
Kats bahkan lebih spesifik lagi meminta Goenawan untuk memasukkan esai
awal Camus, “L’Envers et l’endroit,” dalam tulisan Goenawan tentang
pemikir itu.
[10]
Tulisan Goenawan itu baru muncul jauh kemudian, pada tahun 1988,
sebagai pengantar berjudul ‘Camus dan Orang Indonesia’ pada buku
terjemahan Camus,
Krisis Kebebasan. Penerbitnya adalah Yayasan Obor Indonesia.
Pertanyaannya kemudian: Mengapa Albert Camus? Mengapa, lebih spesifik
lagi, “L’Envers et l’endroit” yang diminta Kats? Mengapa pemikiran
Prancis yang disarankan sebagai paradigma kebudayaan Indonesia?
Bagaimana menjelaskan keterkaitannya dengan proyek politik kebudayaan
liberal pasca 1965? Apa kaitannya dengan paham ‘humanisme universil’
dalam Manifes Kebudayaan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan kita
jawab melalui rekonstruksi filsafat.
Anatomi Politik Absurditas
‘Kita harus membayangkan Sisifus berbahagia.’
[11] Kalimat penutup buku
Mite Sisifus
karangan Albert Camus ini tentu memukau siapa saja yang baru pertama
kali membacanya. Konon, karena membocorkan rahasia para dewa, Sisifus
dikutuk untuk menjalankan hukuman yang paling mengerikan: mendorong batu
besar ke puncak bukit untuk kemudian memandanginya menggelinding ke
bawah dan ia mesti mendorongnya lagi ke puncak, terus mengulang ritus
itu dalam keabadian. Ini adalah hukuman yang mengerikan persis karena
hal itu sia-sia dan tanpa harapan.
Kisah Sisifus adalah cerita tentang nasib manusia. Hidup manusia
adalah jalan panjang dan berulang menuju kematian. Tragis, memang. Namun
sikap tragis adalah pertanda akan kesadaran. Orang yang tak sadar tak
akan pula mengetahui ciri tragis eksistensinya. Sisifus bukan sekadar
orang yang tertindas oleh nasib; lebih dari itu, ia
sadar akan
ketertindasannya. Lantas kemungkinan apakah yang dibukakan oleh
kesadarannya itu? Tak lain adalah keberanian untuk mengatakan ‘Ya!’ pada
absurditas eksistensinya, berkata ‘Ya!’ pada ketertindasannya. Pada
akhirnya, ia seperti Oedipus yang mampu berkata: ‘Meskipun telah
mengalami cobaan yang begitu banyak, usiaku yang lanjut dan kebesaran
hatiku membuat
aku menilai bahwa semuanya baik adanya.’
[12]
Maka inilah cara Camus mengakhiri mite Sisifus: ‘Perjuangan ke puncak
gunung itu sendiri cukup untuk mengisi hati seorang manusia. Kita harus
membayangkan Sisifus berbahagia.’
[13]
Camus kerap jadi justifikasi para pendukung Manifes Kebudayaan untuk
semacam politik yang ‘otentik’ secara eksistensial. Goenawan sendiri
mengakui ini: ‘Banyak penulis “Manikebu” mengambil dongeng tentang
Sisifus sebagaimana ditafsirkan oleh Albert Camus (Camus memang sering
dikutip, semacam jadi mode, karena satu dan lain hal): manusia yang
berikhtiar terus-menerus, sebuah maraton panjang tanpa garis finis yang
jelas, sebuah perjalanan menuju anak tangga terakhir di kaki langit yang
dicita-citakan—sebuah titik yang, bila dihampiri, ternyata menjauh
lagi. Dengan pandangan antiutopian yang seperti itulah, naskah Manifes
Kebudayaan merumuskan sikap kesenian dan pemikiran yang selalu merasa
perlu mengambil jarak dari kekuasaan.’
[14]
Dalam potongan “L’Envers et l’endroit” yang diterjemahkan dengan baik
oleh Muhammad al-Fayyadl, dinyatakan oleh Camus: ‘Aku berdiri setengah
berjarak dengan kemelaratan dan matahari. Kemelaratan mencegahku untuk
percaya bahwa semuanya baik di bawah matahari dan di dalam sejarah;
matahari mengajariku bahwa sejarah bukan segalanya.’
[15]
Boleh jadi kutipan semacam inilah yang disukai Ivan Kats dari CCF,
sehingga memberikan arahan pada Goenawan Mohamad untuk menulis
tentangnya. Judul
L’Envers et l’endroit kerap diterjemahkan sebagai
Betwixt and Between
yang menggambarkan kondisi seseorang yang berada di tengah-tengah,
tidak ini ataupun itu, tidak panas dan tidak dingin—ia menggambarkan
sosok yang ‘setengah berjarak’ dari segala sesuatu, sosok medioker yang
menjustifikasi dirinya dengan mengemasnya lewat label ‘
otentik.’ Dalam kosakata kultural Indonesia saat ini, situasi ini terpotret dengan cemerlang dalam posisi ‘kelas menengah
ngehe:’
menginginkan perubahan sosial tetapi sinis bila ada demo buruh,
mengangankan kesetaraan tetapi jijik pada kolektivitas, mendambakan
kebebasan tetapi lupa pada syarat adanya kebebasan itu sendiri, yakni
pemilikan bersama atas sarana produksi kekayaan. Orang-orang yang punya
hati baik tetapi
lupa pada prasyarat kausal dari harapan-harapannya inilah yang menjadi sasaran empuk Kats. Diam-diam mereka
digiring
menjadi Sisifus. Dan dengan bangga dan puitis mereka mengikutinya.
Sungguh kasihan: mereka kira mereka otentik. Saya tak bisa bayangkan
betapa marahnya mereka bila mendapati bahwa mereka telah digiring jadi
‘Sisifus upahan’ yang dibanderol dengan harga sepersekian dari cicilan
$50. ‘Oh Kirilov, jangan lagi kau bicara soal kebebasan!’
Lantas apa jadinya bila Sisifus dijadikan paradigma subjek politik ‘
otentik’
untuk membaca kehidupan rakyat Indonesia? Kita bayangkan seorang buruh
kebun berkata: ‘Meskipun saya hanya diupah Rp. 500 per sepuluh kilo
sawit yang berhasil saya panen, saya menilai bahwa semuanya baik
adanya.’ Kita bayangkan seorang pembantu rumah tangga berkata: ‘Meskipun
saya hanya diupah sepertiga dari UMP dan sesekali
digebuki oleh
majikan, saya menilai bahwa semuanya baik adanya.’ Kita bayangkan
seorang liberal berkata: ‘Meskipun pasar bebas bukanlah alat yang
sempurna untuk mengalokasikan sumber daya secara adil, saya menilai
bahwa hal itu baik adanya.’ Kita bayangkan seorang aktivis mahasiswa
berkata: ‘Meskipun gerakan politik berbasis moral kerapkali buntu, saya
menilai bahwa hal itu baik adanya.’ Kita bayangkan seorang ekonom
berkata: ‘Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian besar ditopang
konsumsi berbasis kredit, saya menilai bahwa semuanya baik adanya.’
Kita bayangkan seorang pelaku pelecehan seksual berkata: ‘Meskipun saya
melecehkanmu secara seksual, saya menilai bahwa semuanya baik adanya.’
Singkatnya: ‘Kita harus membayangkan,
somehow, Marsinah berbahagia.
Apabila hal-hal itu mulanya demikian sulit kita bayangkan, adalah
karena sumbangsih Goenawan Mohamad lah sehingga pernyataan-pernyataan
itu jadi dapat dibayangkan, akrab dan lumrah. Mengapa demikian?
Makelar Filsafat Prancis: Formasi Selera Intelektual
Saya teringat akan kisah Borges yang dituturkan ulang oleh Foucault dalam
Tatanan Hal Ihwal.
Diriwayatkan bahwa di negeri Tiongkok, kenyataan dibagi dan
diklasifikasi berdasarkan derajat kedekatannya dengan kaisar. Upaya
membangun taksonomi semacam itu jugalah yang dijalankan oleh Goenawan
dalam tulisan-tulisannya: mana yang sungguh merupakan puisi dan mana
yang hanya slogan; mana yang berpolitik secara otentik dan mana yang
sekadar politik kekuasaan; mana filsafat yang baik dan mana filsafat
yang rendahan, positivistik, dsb. Jangan lupa bahwa ini merupakan
kelanjutan yang konsisten dari arahan Ivan Kats
[16]
tentang perlunya seorang ‘penafsir-makelar’ yang akan menyortir
pemikiran-pemikiran yang baik bagi ‘Indonesia’—dalam lingkup tema
‘kebebasan’ yang ditawarkan Congress for Cultural Freedom dan direstui
oleh seksi Office of Policy Coordination di bawah CIA.
Apa yang dibentuk oleh Goenawan Mohamad adalah apa yang saya sebut
sebagai ‘selera intelektual.’ Ia hendak membentuk semacam ‘setingan
default’
atau ‘setelan pabrik’ dari paradigma berpikir intelektual Indonesia.
Hal ini dapat diuji dengan cara yang sederhana. Dalam beberapa kali
diskusi dengan teman-teman yang kerap membaca dan menggemari tulisan
Goenawan, saya amati bahwa perdebatan akan meruncing ke satu/dua
proposisi pokok yang tidak bisa dijustifikasi oleh argumen rasional yang
lebih mendasar lagi. Proposisi-proposisi semacam itu, antara lain
‘kebebasan berpikir’ atau ‘kemanusiaan,’ adalah ‘setelan pabrik’ si
kawan yang tercipta dari internalisasi tulisan-tulisan Goenawan selama
bertahun-tahun. Dalam situasi seperti itu, bahkan bila saya menanyakan
lebih jauh, misalnya, ‘apa syarat-syarat material dari adanya sesuatu
yang Bung sebut “kebebasan berpikir” dan “kemanusiaan” itu?’ maka kawan
itu akan kebingungan, karena selama ini ia mengganggap proposisi
tersebut sudah
self-evident, sudah jelas dengan sendirinya dan
tak mungkin dipertanyakan lagi. Pada detik itu, saya tahu bahwa saya
tengah berhadapan dengan sejenis robot Forex.
Cara bekerja ‘selera intelektual,’ karenanya, menyerupai apa yang
disebut Althusser sebagai ‘aparatus ideologis negara.’ Pembentukan
selera semacam ini pada hakikatnya adalah
internalisasi mekanisme sensor. Apa yang disensornya adalah proposisi filosofis tertentu yang didefinisikan sebagai ‘gangguan’ terhadap
operating system
kultural yang telah terinstal dalam kepala si subjek. Dalam hal inilah
dapat dikatakan bahwa kesusasteraan merupakan sarana ‘rekayasa sosial’ (
social engineering).
Justru di sinilah pernyataan Goenawan yang seolah tampak otentik—bahwa
dengan sastra Lekra, ‘jang ada tjuma 1 Revolusi, 1000 slogan dan 0
puisi’
[17]—menemukan
ekspresinya yang paling kontradiktif. Distingsi yang ia coba bangun
antara slogan dan puisi segera runtuh manakala kita menyadari bahwa
puisinya adalah juga sarana formasi selera intelektual yang berperan
dalam internalisasi mekanisme sensor kultural. Puisi-puisi Goenawan,
karenanya, adalah juga himpunan slogan. Bedanya hanyalah bila puisi
penyair Lekra tak coba menyembunyikan diri dari kemiripannya dengan
slogan politik, puisi Goenawan telah menyaru demikian rupa sehingga
tampak seperti sepotong puisi ‘murni.’ Meminjam analogi dari dunia
periklanan, puisi-puisi Goenawan adalah seperti iklan kondom. Inilah
ilustrasi dari yang tempo hari saya sebut sebagai ‘politik gratisan yang
berkedok kesubliman.’
Melalui surat Kats 20 November 1969, kita juga jadi tahu mengapa pada
perkembangannya kemudian, Goenawan banyak mempromosikan filsafat
Prancis kontemporer. Setelah eksistensialisme sebagai tren mulai
mengendur, maka dikemaslah secara ulang dan dipasarkan ke Indonesia
sebagai pascamodernisme. Apabila kita perhatikan, pascamodernisme yang
dipromosikannya sejak akhir 80-an sebetulnya tak jauh berbeda dari
eksistensialisme madesu yang dipasarkan di era 60-an. Filsafat yang ia
tawarkan adalah selalu filsafat yang mengeluh dan mengelus dada.
Filsafatnya adalah filsafat yang
sendu—
seneng duit,
celetuk teman saya. Ia mencoba mengemas ulang gagasan tentang emansipasi
sosial yang sebetulnya inheren dalam filsafat Prancis kontemporer,
dengan cara dipreteli konteks Marxis-Leninisnya dan dijangkarkan pada
kegalauan psikologis. Unsur-unsur psikologis inilah yang berperan
sebagai komando yang memoderasi tuntutan emansipasi pada taraf yang
dapat diterima secara normatif dan dapat dibrokerkan dengan negara dan
para penyandang dana. Di tangan Goenawan, Zizek dan Badiou jadi tak
punya taring dan perannya disubordinatkan pada pemikir-pemikir Prancis
lain yang ia pikir lebih dapat diintegrasikan pada tradisi liberal:
Derrida, Laclau, Lacan, dsb. Tak pelak lagi, ini adalah manifestasi dari
politik kebudayaan pejabat kolonial yang dikerjakan seturut arahan Tuan
Besar Gubernur Jendral CCF, Meneer Ivan Kats. ‘Hei Rinkes, jangan lagi
kau bicara soal peradaban!’
Pada Suatu Pagi Ketika Komunisme Tak Ada Lagi
Apa konsekuensi semua ini bagi proses konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965? Semua itu berjalan ‘
step demi
step,’
seperti telah dinubuatkan Anwar Congo. Saya sepakat dengan Wijaya yang
menyatakan dalam penelitiannya bahwa Goenawan Mohamad turut berperan
serta dalam penumpasan komunisme secara intelektual. Namun lebih jauh
lagi, saya juga berpendapat bahwa Goenawan turut berpartisipasi dalam
proses konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965. Ia memang
kerapkali memberikan ‘sentilan-sentilun kritis’ terhadap kapitalisme di
berbagai tulisannya. Tetapi agaknya, sikap kritis semacam itu hanyalah
langkah penyimpulan
ad hoc yang tidak dideduksikan secara
langsung dari dalam asumsi-asumsi dasar posisi pemikirannya. Buktinya
adalah ketika pertanyaan tentang masalah alternatif sistem ekonomi
ditawarkan secara eksplisit kepadanya, ia tanpa ragu memilih
kapitalisme, sebagaimana nampak dalam laporan wawancaranya dengan Rizal
Mallarangeng pada bulan Juni 1996 berikut ini:
‘Jadi masalah yang paling penting adalah yang berhubungan dengan
peran birokrasi. Bagi Goenawan Mohamad, satu-satunya cara yang mungkin
dilakukan untuk mengatasi atau memperkecil masalah tersebut adalah
dengan melaksanakan kebijakan deregulasi. Dengan kata lain, dia menerima
pandangan bahwa “jalan kapitalis” saat ini perlu, necessary,
dan baik untuk Indonesia. Benar bahwa sebagai seorang humanis dia
memiliki beberapa keberatan atas sistem kapitalisme secara umum. Kendati
demikian, menurut pendapatnya, tak ada alternatif yang lebih baik.
“Kalau Anda mau menyingkirkan kaum kapitalis,” katanya, “Anda harus siap
berada di bawah dominasi kaum birokrat.”’[18]
Dan berada di bawah dominasi kaum birokrat, di bawah Partai, adalah
mimpi buruknya sebagai seorang liberal. Ivan Kats telah memastikan agar
mimpi buruk itu tak jadi milik Goenawan semata, tetapi juga semua yang
membaca tulisan Goenawan. Dengan turut membangun dikotomi kultural yang
absurd antara kapitalisme dan otoritarianisme, antara ‘atmosfer
kebebasan’ dan komunisme yang mencekik, itulah Goenawan
menyiapkan prakondisi epistemik bagi terkonsolidasinya kapitalisme di Indonesia pasca 1965. Ia membuat kapitalisme jadi wajar.
Setelah memahami konteks ini, kita jadi mengerti mengapa ia pada
akhirnya turut melawan Orde Baru. Sebab Orde Baru adalah manifestasi
kapitalisme-negara, suatu kapitalisme yang bercorak otoritarian, suatu
kapitalisme yang tidak konsisten dengan postulat liberalnya sendiri.
Maka perlawanan Goenawan terhadap Orde Baru, dalam arti itu, bukanlah
perlawanan kaum Kiri terhadap kapitalisme. Itu adalah perlawanan seorang
liberal tulen terhadap kapitalisme yang inkonsisten. Saya sepakat
dengan pernyataan Wijaya bahwa kendati Komunias Utan Kayu yang
dibangunnya merupakan salah satu simpul perlawanan atas Orba yang
mengakomodasi suara para mantan tapol ’65 dan gerakan Kiri, ‘pendekatan
Goenawan tersebut harus diletakkan dalam kerangka prinsip-prinsip
liberalisme yang telah ia pertahankan sejak 1960an.’
[19]
Tujuannya ialah mengembalikan kapitalisme dan liberalisme dalam
wujudnya yang sejati, yang non-otoritarian: suatu kapitalisme dan
liberalisme yang
kaffah, yang murni dan konsekuen. Pasar
persaingan sempurna yang ditopang oleh eongan-eongan kedaifan, sejumput
puisi dan segurat justifikasi bagi politik etis. [bersambung....]
[1] Wijaya Herlambang,
Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (Jakarta: Marjin Kiri, 2013), h. 65-66.
[2] Wijaya Herlambang,
Kekerasan Budaya Pasca 1965, h. 95-96.
[3] Ibid (lih. catatan kaki no. 118).
[4] Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 16 Desember 1965.
[5] Wijaya Herlambang,
Kekerasan Budaya Pasca 1965, h. 85.
[6] Lih. Wijaya Herlambang,
Kekerasan Budaya Pasca 1965, h. 84 (catatan kaki no. 77).
[7] Surat H.B. Jassin – Goenawan Mohamad, 28 Juni 1966.
[8] Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 20 November 1969.
[9] Lih. surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 24 Januari 1970, 5 April 1970, 21 Mei 1970, 20 Oktober 1970 & 22 Oktober 1970.
[10] Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 22 Oktober 1970.
[11] Albert Camus,
Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 159.
[12] Albert Camus,
Mite Sisifus, h. 157.
[13] Albert Camus,
Mite Sisifus, h. 159.
[14] Goenawan Mohamad, “Affair Manikebu, 1963-1964” dalam
Eksotopi (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), h. 128-129.
[15] Muhammad al-Fayyadl, “Mite Camus” dalam Sorge Magazine, November 2013, h. 12.
[16] Lih. surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 20 November 1969.
[17] Goenawan Mohamad, “Tjatatan Kebudajaan: Ketika Manifes Kebudajaan Dilarang,” dalam majalah
Horison, Mei 1967, h. 131.
[18] Rizal Mallarangeng,
Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992 (Jakarta: KPG & Freedom Institute, 2004), h. 140.
[19] Wijaya Herlambang,
Kekerasan Budaya Pasca 1965, h. 308.
Sumber