15 August 2017

Ibu Siti Manggopoh, Singa Betina Dari Ranah Minang

Ibu Siti Manggopoh, Singa Betina Dari Ranah MinangAda yang sedikit terlupakan dari catatan sejarah Indonesia. Siti Manggopoh. Nama perempuan asal Minang ini memang tidak bergaung seperti RA Kartini yang dianggap sebagai tokoh pahlawan Indonesia. Padahal, jika ditelusuri lagi, Siti Manggopoh merupakan pahlawan perempuan dari Minangkabau yang mampu mempertahankan marwah bangsanya, adat, budaya dan agamanya. Bagaimana tidak, Siti Manggopoh tercatat pernah melakukan perlawanan terhadap kebijakan ekonomi Belanda melalui pajak uang (belasting).

Ketika itu, perempuan-perempuan Indonesia yang berpendidikan tinggi sedang mengibarkan bendera perjuangan gender, dan pada saat itu Siti Manggopoh, perempuan pejuang dari desa kecil terpencil di Kabupaten Agam, Sumatera Barat muncul sebagai perempuan dengan semangat perlawan terhadap penjajahan yang terjadi di negerinya.

Siti Mangopoh adalah pejuang wanita dari desa kecil terpencil di Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Dilahirkan bulan Mei 1880, Siti Manggopoh pada tahun 1908 melakukan perlawanan terhadap kebijakan ekonomi Belanda melalui pajak uang (belasting). Gerakan rakyat untuk menolak kebijakan belasting di Manggopoh disebut dengan Perang Belasting.Peraturan belasting dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau.Sebab, tanah adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau.

Peristiwa yang tidak bisa dilupakan Belanda adalah gerakan yang dilakukan Siti Manggopoh pada tanggal 16 Juni 1908. Belanda sangat kewalahan menghadapi tokoh perempuan Minangkabau ini sehingga meminta bantuan kepada tentara Belanda yang berada di luar nagari Manggopoh.

Dengan siasat yang diatur sedemikian rupa oleh Siti, dia dan pasukannya berhasil menewaskan 53 orang serdadu penjaga benteng. Sebagai perempuan Siti Manggopoh cukup mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain.

Perebutan benteng yang dilakukan Siti menyulut Perang Manggopoh. Akhirnya Siti bersama sang suami, Rasyid Bagindo Magek, berhasil ditangkap dan dipenjarakan tentara Belanda. Tapi, lantaran mempunyai bayi, Siti terbebas dari hukuman pembuangan.

“Ya. Saya sangat menyesal karena tidak semua tentara Belanda di benteng Manggopoh dibantai. Saya menyesal karena hanya 53 yang terbunuh. Saya menyesal karena ada dua orang yang lolos dan mengadu kepada kalian sehingga Nagari kami diporak-poranda!”

Itulah yang diucapkan Siti Manggopoh ketika diinterogasi tentara Belanda, apakah dia menyesali perbuatannya menyerang markas pasukan Belanda di Manggopoh sehingga kemudian dicari-cari, ditahan dan diancam dengan hukuman gantung. Siti Manggopoh memimpin Perang Belasting di Nagari Manggopoh yang terletak di wilayah barat Kabupaten Agam, 100 KM dari Kota Padang dan 60 KM dari Bukittinggi (Siti Manggopoh dan Perang Belasting-Berdikarionline).

Quote:Original Posted By Legenda Rakyat

Bahwasanya sejatinya Ibu Siti adalah seorang pendekar silat Minang. Diceritakan Ibu Siti pernah menewaskan 20 org perwira belanda dengan hanya bersenjatakan karih (kerisnya org minang). Caranya.. Ketika para perwira belanda lagi rapat di sebuah ruangan, saat pasukannya menguasai benteng, Ibu Siti masuk dengan tenang ke ruangan rapat perwira belanda tersebut. Para perwira kaget campur bingung, Ibu siti menghunus kerisnya dan membunuh semuanya satu persatu. Legenda ini terkenal sekali ditanah kelahiran Ibu Siti


Belanda memasukkan Siti Manggopoh dan Suaminya Rasyid ke penjara secara terpisah. Siti Manggopoh dan Suaminya mendekam dipenjara selama 14 bulan di penjara di Lubuk Basung, 16 bulan di Pariaman dan 12 bulan di Padang. Selanjutnya, Rasyid divonis hukuman dibuang ke Menado dan meninggal di Tondano.

Setelah Republik ini merdeka pada tahun 1945, Siti Manggopoh dan kisahnya sempat terlupakan. Baru pada tahun 1957, orang mulai mengingat akan perjuangan heroik Siti Manggopoh. Pemerintah Sumatera Tengah yang beribukota di Bukittinggi mengirim satu tim ke Lubuk Basung dan memberikan bantuan ala kadarnya. Siti Manggopoh merasa senang. Bantuan yang ia terima dijadikannya sebagai modal untuk membuka warung kecil di depan rumahnya.

Pada tahun 1960, Kepala Staf Angkatan Darat Jend. Nasution mendengar cerita heroik perjuangan Siti Manggopoh. Ia sangat terharu sekali atas keperkasaan Siti Manggopoh. Akhirnya ia memutuskan untuk datang ke Manggopoh untuk menemui Siti Manggopoh. Ia mengalungkan selendang kepada Siti Manggopoh sebagai lambang kegigihan dan keberaniannya melawan penjajahan. Masyarakat Manggopoh jadi haru ketika Jend. Nasution membopong dan mencium wajah tua keriput itu. Pada tahun 1964, Menteri Sosial mengeluarkan Sk tertanggal 17 November 1964 No. Pal. 1379/64/P.K yang isinya menyatakan bahwa Siti Manggopoh berhak menerima tunjangan atas jasa kepahlawanannya sebesar Rp 850,-. Tetapi kabarnya hanya sekali saja Siti Manggopoh menerima tunjangan tersebut.

Siti Manggopoh meninggal di usia 85 tahun, pada 20 Agustus 1965 di Kampung Gasan Gadang, Kabupaten Agam.

Gelar Pahlawan Nasional memang seharusnya (kembali) diberikan terhadap Siti Manggopoh, karena perjuangannya telah diakui Pemerintah melalui Jenderal Besar AH. Nasution pada tahun 1964 dan dengan SK Menteri Sosial tahun 1964 yang sekaligus memberikan tunjangan atas kepahlawanannya

No comments:

Post a Comment